Para Pakar yang menyikapi soal BPA, yang dipandang dipaksakan.
AKURAT NEWS | JAKARTA
— Wacana pelabelan Bisfenol A (BPA) yang hanya diterapkan
terhadap galon guna ulang yang kini sangat gencar disosialisasikan Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dinilai terlalu dipaksakan. Pakar-pakar lintas
universitas dan lintas keilmuan terdiri dari pakar kesehatan, polimer,
persaingan usaha, dan kebijakan publik sepakat menyuarakan bahwa kebijakan itu
tidak perlu dilakukan.
Dr. Hermawan Saputra, SKM, MARS., CICS, yang merupakan Pakar
Kesehatan Masyarakat UHAMKA dan Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat
Indonesia (IAKMI) yang menjadi salah satu pembicara dalam acara mengatakan,
labelisasi BPA itu menjadi suatu keharusan kalau memang sudah ada evidence
based-nya atau ada bukti bahwa air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang
itu sudah mengganggu aspek kesehatan.
“Kalau belum ada bukti, seharusnya BPOM tidak perlu membuat
panik masyarakat dengan adanya kebijakan yang bisa pro bisa kontra, dan bisa
jadi akan mengganggu iklim persaingan usaha dan membuat kegamangan masyarakat
itu sendiri,” ujarnya dalam diskusi media “Polemik Pelabelan BPA AMDK Galon”
yang diselenggarakan Orbit Indonesia di Jakarta, Kamis 1 Desember 2022.
Dia mengatakan para ahli yang membuat kemasan galon guna
ulang itu juga pasti sudah sangat memahami soal keamanan kemasan polikarbonat
yang berbahan BPA itu, sehingga mereka merekomendasikannya untuk digunakan
sebagai kemasan AMDK. Karenanya, dia meminta agar ketika berbicara mengenai
dampak terhadap kesehatan masyarakat, jangan sampai itu dipakai hanya untuk
menentukan sikapnya sendiri.
“Karena, masyarakat itu asimetris informasi, orang yang
tidak paham utuh tentang apa yang dikonsumsi tapi mereka membutuhkan sesuatu
yang dibutuhkan oleh keseharian yang menjadi bahan pokok,” tukasnya.
Bukan Kebijakan Bijaksana
Dr. Hermawan mengungkapkan, dalam Peraturan Badan POM nomor
20 tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, itu sudah diatur mengenai batas maksimal
migrasi senyawa tertentu yang terkandung dalam pengemasan kepada substansi atau
materi bahan pangannya. Tetapi kalau misalnya selama ini riset itu kurang dan
bahkan tidak ada dampak yang serius yang bisa menyebabkan gangguan kesehatan,
Hermawan tidak setuju jika hal itu kemudian muncul menjadi persoalan.
“Kenapa kita harus memunculkan suatu persoalan atau
kebijakan baru? Padahal secara evidence, belum ada laporan resmi, belum ada
juga riset yang kuat yang mengatakan bahwa memang pada air minum dalam kemasan
galon guna ulang ini berkaitan dengan adanya potensi toksisitas,” katanya.
Dia yakin dalam memproduksi AMDK galon guna ulang,
industrinya juga dilengkapi dengan protokol yang sangat ketat dan sudah
melewati tahapan yang sesuai peraturan. “Jadi, saya kira sekarang tinggal
pengawasannya terhadap kesehatan, apakah itu betul-betul berbasis evidence atau
tidak,” ucapnya.
Menurutnya, wacana kebijakan BPOM yang akan melabeli
“berpotensi mengandung BPA” terhadap galon guna ulang bukan opsi yang
bijaksana. “Kita menginginkan kebijakan yang antisipatif, tetapi pelabelan
bukan opsi bijaksana,” tandasnya.
Hanya Sisa Bahan Baku
Di acara yang sama, Pakar Polimer Institut Teknologi Bandung
(ITB), Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D., juga menegaskan, bahwa BPA itu
memang dibuat untuk bahan baku polikarbonat dan aman digunakan untuk kemasan
air minum dalam kemasan (AMDK). Penggunaan juga sangat kecil, sebagai bahan
campuran dan harus mengikuti ambang batas yang telah diatur oleh BPOM.
“Jadi, sifatnya BPA ada di sana itu sebagai sisa dari bahan
baku yang belum bereaksi menjadi polikarbonat. Yang sisa ini juga jumlahnya
tidak banyak, apalagi selama proses itu dilakukan juga pembersihan bpa.
Misalnya dengan teknik steaming, biji plastiknya di-steam terlebih dahulu,
sehingga nanti BPA yang tersisa dalam polikarbonat itu bisa hilang atau
berkurang sehingga jadi food grade,” tuturnya.
Karenanya, dia menilai bahwa pelabelan BPA terhadap galon
guna ulang polikarbonat itu terlalu berlebihan. “Kalau mau dilabeli semua,
mungkin dirasa lebih fair, tapi kalau hanya satu yang dilabeli dan lainnya
tidak, ya nggak fair. Apalagi melabeli bahan yang tidak menggunakan BPA dengan
label Free BPA, sedangkan etilen glikolnya tidak dilabeli.
Permasalahan-permasalahan seperti ini dari kacamata ilmu pengetahuan ya ganjil,
lucu. Melabeli sesuatu label yang tidak sepantasnya dilabeli” tambahnya.
Menurutnya, AMDK galon guna ulang juga sudah dipakai selama
puluhan tahun dan tidak ada laporan masyarakat ada yang sakit atau meninggal
karena mengkonsumsinya. “Mengapa begitu? Karena memang dari tes-tes yang kami
tahu, BPA yang ada di dalam air akibat menggunakan polikarbonat itu rendah dan
masih jauh dari batas aman BPOM. Jadi, wajar kalau memang tidak ada problem
yang muncul seperti kematian atau orang sakit karena galon polikarbonat,”
tukasnya.
Pola lama dengan hanya menempelkan logo BPOM saja itu,
menurut Zainal sudah cukup karena berarti kemasan pangan tersebut sudah
memenuhi seluruh persyaratan BPOM. “Ini jauh lebih bagus ketimbang harus
menambahi lagi pelabelan BPA yang hanya memunculkan masalah baru di
masyarakat,” ujarnya.
Pandangan serupa lainnya juga disampaikan Prof. Dr. Ningrum
Natasya Sirait, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang
juga Pengamat Persaingan Usaha saat menyampaikan paparannya. Dia
menyayangkan jika consumer welfare atau kesejahteraan konsumen yang
didengung-dengungkan sebagai tujuan dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dan Undang-Undang Persaingan Usaha yang sudah dinikmati masyarakat selama ini,
tiba-tiba saja menjadi rusuh hanya karena satu pendekatan yang limbung dan grey
area dan tidak didukung scientific evidence based seperti wacana kebijakan
pelabelan BPA galon guna ulang.
“Kok bisa ya enak saja. Terlebih tadi di tengah beban
resesi. Jangan ditambah lagi lah. Kayaknya itu tidak prioritas. Saya harap BPOM
lebih memperhatikan regulatory impact assessment ketika mendengungkan suatu
statement atau regulasi barunya,” katanya.
Dia mengingatkan BPOM agar jangan membuat hidup masyarakat
lebih susah dengan hal-hal yang belum jelas seperti mewacanakan pelabelan BPA
galon guna ulang ini.
“Di keluarga, kami pakai produk air mineral guna ulang kok
hampir setiap hari dan tidak apa-apa. Jadi, sebaiknya BPOM lebih bijaksana dan
lebih sensi lah. Mungkin kalau ada satu scientific evidence based yang
betul-betul menggegerkan dunia tentang ini, ya boleh saja. Tapi kan kita harus
belajar, bukan ikut-ikutan. Jadi menurut saya, silent jauh lebih bijaksana
daripada buat kondisi semua kisruh dan parsial. Bayangkan saudara-saudara kita
yang tidak begitu mengerti apa yang menjadi polemik. Apa itu yang dicari? Saya
menyesalkan kalau itu yang dicari. Maka hati-hatilah dalam membuat regulasi dan
pikirkanlah dampaknya,” tandasnya.
Regulator Tidak Ikut
Campur
Di acara ini, Pengamat Kebijakan Publik yang merupakan
Alumnus George Washington University Amerika Serikat, Agus Pambagio, juga
menyuarakan hal yang sama. Dia melihat wacana kebijakan pelabelan BPA galon
guna ulang ini sangat kental kaitannya dengan adanya isu persaingan usaha.
Pemerintah sebagai regulator sebaiknya tidak ikut campur dan duduk di tengah.
“Pertanyaan saya juga kenapa hanya galon? Kan yang memakai
kemasan itu banyak, termasuk makanan dikemas di kaleng, minuman dan sebagainya.
Kenapa hanya galon? Unsur lain plastik lainnya kan banyak”, kata Agus.
Menurut Agus, BPOM itu bertanggung jawab terhadap kualitas
dari pangan dengan memberikan izin edar di awalnya, lalu melakukan pengujian
izin edar dan mengawasi serta menindak ketika ada pengaduan masyarakat. “Jadi,
saya berharap pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang dibuat oleh BPOM
secara sepihak karena tidak ada uji scientific-nya,” pungkasnya.