AKURATNEWS.ID, JAKARTA - Berdasarkan data Globocan, total kasus kanker di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 396.914 kasus dan total kematian sebesar 234.511 kasus. Maka dari itu, sebagai orang-orang yang termasuk dalam kelompok rentan, pasien kanker memiliki risiko terjangkit COVID-19 lebih tinggi karena sistem kekebalan mereka yang terganggu.
Kekebalan tubuh pasien kanker lemah, sehingga tubuh mereka kurang mampu melawan penyakit dan infeksi, termasuk virus penyebab COVID-19.
Pasien kanker memiliki risiko lebih tinggi mengalami keparahan, perawatan di rumah sakit dan kematian akibat COVID-19. Salah satu penyebabnya adalah kondisi respon imun pasien yang belum cukup memadai untuk memberikan proteksi terhadap penyakit/infeksi, salah satunya virus SARS-Cov-2, penyebab COVID-19. Kondisi tersebut dapat berasal dari kanker itu sendiri maupun efek samping dari terapi kanker.
Imunisasi yang efektif harus menginduksi stimulasi jangka panjang baik sistem imun humoral maupun seluler yang dimediasi oleh sistem adaptif dengan memproduksi sel efektor untuk infeksi saat ini maupun sel memori untuk infeksi di masa depan oleh agen patogen.
Ada berbagai jenis vaksin yang sedang digunakan atau sedang dikembangkan untuk pencegahan penyakit menular. Dalam kondisi ideal, vaksin seharusnya mampu memicu sistem imun bawaan dan sistem imun adaptif. Namun, setiap jenis vaksin memiliki kelebihan dan kekurangan yang dapat mempengaruhi stimulasi sistem kekebalan tubuh sehingga membatasi kegunaan jenis vaksin tersebut.
Berdasarkan penelitian Recovery yang dirilis oleh Linardou et. al, terjadi perbedaan respons tubuh terhadap vaksin yang diberikan ke dua kelompok yakni kelompok pasien kanker dan kelompok orang sehat (controls) di mana respon imun para pasien kanker lebih rendah terhadap vaksin tersebut.
dr. Jeffry Beta Tenggara, Sp.PD-KHOM, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Hemato-Onkologi Medik menyebutkan, melihat fakta tersebut, terdapat kelompok pasien kanker yang berisiko belum mendapatkan perlindungan yang sama optimalnya dengan masyarakat sehat, bahkan setelah pemberian vaksin.
"Maka pada kelompok pasien tersebut, imunisasi pasif berupa antibodi monoklonal dapat menjadi opsi sebagai extra protection," ujarnya, dalam diskusi webinar, Kamis 15 Desember 2022.
Untuk terlindungi dari COVID-19, selain menggunakan vaksin yang secara aktif dapat merangsang sistem imun untuk pembentukan antibodi, pada populasi tertentu khususnya pasien kanker, terdapat terapi imunisasi pasif seperti antibodi monoklonal yang mungkin dapat menjadi salah satu opsi bagi pasien tersebut untuk mendapatkan proteksi tambahan terhadap COVID-19.
Antibodi monoklonal menargetkan Spike Protein Virus COVID-19 sebagai pencegahan (Pre-exposure Prohylaxis/PrEP) terhadap Infeksi SARS-CoV-2. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, antibodi monoklonal dapat mencegah terjadinya infeksi COVID-19 pada Kelompok Rentan, salah satunya adalah pasien kanker.
Di sisi lain, antibodi monoklonal dapat memberikan perlindungan jangka panjang hingga 6 bulan dan efektif melawan virus SARS-Cov-2 yang telah bermutasi.
Efektivitas Vaksin COVID-19 berkurang pada individu dengan gangguan fungsi sistem imun. Sebagai solusi, individu dengan gangguan sistem imun memerlukan opsi tambahan untuk mendapatkan perlindungan yang lebih optimal terhadap infeksi COVID-19.
Cancer Information and Support Center (CISC), melalui Aryanthi Baramuli Putri selaku Pendiri dan Ketua CISC, menyampaikan, selain vaksin dan antibodi monoklonal, pasien kanker juga diimbau untuk terus menerapkan protokol kesehatan 3M yakni menjaga jarak, mencuci tangan, dan menggunakan masker.
"Apabila dibutuhkan, CISC juga senantiasa hadir untuk memberikan dukungan dan menyediakan informasi terkait pasien kanker dalam melindungi diri dari COVID-19,” ungkapnya.