Ilustrasi Perokok Wanita yang dinilai lebih rentan terkena kanker paru-paru./pixabay/akuratnews.id
AKURATNEWS.ID, JAKARTA – Perkembangan teknologi terus berkembang di tengah kondisi kesehatan masyarakat yang juga turut mengalami perubahan, terlebih dalam memberikan layanan kesehatan tepat guna kepada para pasien, salah satunya pelayanan kesehatan bagi penderita penyakit paru.
Selama ini bagi setiap pasien paru yang menjalankan terapi
kesehatan mungkin agak bosan jika merunut perkembangan kesehatannya. Namun, di
tengah kondisi tersebut dunia ilmu pengetahuan di sector kesehatan telah
menemukan treatmen yang harus dilakukan bagi para penderita penyakit paru-paru.
Konsensus dari perkumpulan para ahli menyerukan, diagnosa
dan pengobatan yang paling umum untuk kanker paru-paru di Indonesia dan Asia
membutuhkan perubahan mendesak agar lebih memperhitungkan karakteristik pasien
yang unik pada wilayah tersebut, demikian informasi yang diterbitkan dalam
Journal of Thoracic Oncology baru-baru ini.
Dalam jurnal World
Health Organization- International Agency for Research on Cancer, sekitar
60% dari kasus kanker paru-paru di dunia terjadi di Asia, dengan lebih dari
34,000 kasus yang didiagnosis di
Indonesia setiap tahun. Namun pedoman diagnosa dan pengobatan di Asia saat ini
mengikuti model yang berasal dari Amerika Serikat dan Eropa, di mana
karakteristik pasien dan penyakitnya berbeda.
Misalnya, pada satu gen tertentu, yang disebut reseptor
faktor pertumbuhan epidermis (EGFR), mutasinya lebih tinggi pada pasien
Asia(lebih dari 50% pasien NSCLC).6 Mengidentifikasi status EGFR pasien dengan
NSCLC dapat membantu dokter dalam menentukan perawatan yang paling tepat untuk
pasien mereka, sehinggamenjadikan mutasi EGFR sebagai 'biomarker' yang ideal
untuk memandu keputusan pengobatan.
Pasien Wanita Usia
Muda di Asia Paling Rentan Terhadap Rokok
Sekitar dua pertiga tenaga kesehatan yang disurvei di
wilayah tersebut menyatakan bahwa, kurang dari setengah pasien kanker paru-paru
mereka yang telah menjalani pengujian untuk biomarker.
Walaupun merokok masih menjadi faktor risiko utama kanker
paru-paru, pasien dengan usia muda, terutama wanita, yang mengidap kanker
paru-paru memilki kemungkinan lebih tinggi untuk tidak pernah merokok pada
populasi Asia, dibandingkan dengan wilayah lain di seluruh dunia. Kanker
paru-paru pada non-perokok lebih mungkin menunjukkan mutasi EGFR.
Prof. Tetsuya Mitsudomi, Profesor, Pusat Aliansi Penelitian
Global dan Bedah Toraks, Rumah Sakit Kindai, Jepang, mengatakan konsensus ahli
yang dirilis hari ini (26 Desember 2022) menyerukan pengujian biomarker rutin
untuk pasien kanker paru-paru bukan sel kecil di seluruh negara Asia, sebagai
langkah yang diperlukan dalam upaya untuk menghilangkan kanker paru-paru
sebagai penyebab kematian,” ujarnya dalam keterangannya, 26 Desember 2022.
“Pengujian biomarker untuk semua pasien kanker paru-paru
bukan sel kecil di Asia dapat membantu meningkatkan diagnosa dan mengurangi
prosedur yang tidak dibutuhkan dan memastikan pilihan pengobatan yang paling
bermanfaat untuk setiap pasien, dan pada akhirnya memberikan hasil kesehatan
terbaik," lanjutnya.
Konsensus tersebut merupakan hasil diskusi ekstensif antar
para ahli dari beberapa negara Asia, didukung oleh Aliansi Ambisi Paru Paru
(LAA). LAA adalah kolaborasi nirlaba yang didirikan oleh AstraZeneca, Koalisi
Global Kanker Paru Paru (GLCC), Guardant Health, dan Asosiasi Internasional
untuk Studi Kanker Paru (IASLC).
Meskipun tingkat kematian akibat kanker paru-paru telah
stabil atau menurun di negara-negara Barat, tapi di Asia mengalami peningkatan
selama dua dekade terakhir.