Ilustrasi memperbaiki ponsel/smartphone/pixabay |
AKURATNEWS.ID, JAKARTA – Sampah barang-barang elektronik selama ini menjadi satu permasalahan yang dihadapi dunia ini. Indonesia sebagai Negara konsumsi barang elektronik yang cukup besar, dinilai dihadapi oleh beragam permasalahan ke depannya, terkait dengan limbah barang elektronik yang terus bertambah. Sejatinya, banyak kalangan menilai barang elektronik dapat diperbaiki, ketika komponen barang tersebut ada di pasaran.
Terkait sulitnya menemukan komponen sebuah produk
elektronik, Kementerian Perindustrian didorong untuk membuat aturan dalam
rangka Repair Right (hak perbaikan) bagi sebuah produk elektronik. Aturan tersebut
dinilai dapat menjadi wadah dalam rangka pengadaan komponen elektronik, untuk
mengurangi limbah elektronik akibat kerusakan.
Dalam sebuah petisi yang disampaikan Daichi Suzuki di Change.org,
disebutkan oleh seorang yang mengaku sebagai seorang tukang servis, yang mana
sebuah ponsel dari produk elektronik tidak dapat diperbaiki karena komponen
produk tersebut sudah tidak diproduksi lagi oleh produsen yang bersangkutan.
“Sebagai tukang servis, saya menjawab getir dengan kata-kata
yang terlalu sering saya ulang ketika menghadapi ponsel yang sulit diservis. Ini
sih sudah nggak bisa diselamatkan, partnya sudah nggak ada yang buat,” ujar
tukang servis dilansir dari change.org, Kamis 29 Desember 2022.
Dalam petisi tersebut disampaikan, banyak yang merasa sebal/kesal
karena barang elektronik yang masih layak pakai ternyata sudah tidak bisa
diservis karena suku cadangnya sudah tidak disediakan atau dianggap terlalu
mahal jika dibandingkan dengan membeli barang elektronik baru,
Selain menyimpan banyak kenangan, barang elektronik yang terawat
juga merupakan salah satu cara untuk menjaga lingkungan. “Semakin banyak barang
elektronik yang bisa kita servis dan gunakan hingga bertahun-tahun, semakin
sedikit pula limbah elektronik yang kita hasilkan. Apalagi, menurut penelitian,
limbah elektronik di Indonesia pada tahun 2020 saja sudah mencapai 1.862
kiloton!,” tulis Daichi.
Daichi sebagai perwakilan masyarakat pengguna teknologi,
meminta Kemenperin untuk merumuskan dan menggolkan peraturan menteri mengenai
Hak Perbaikan Barang Elektronik di tahun 2023.
“Kami percaya bahwa Kemenperin dapat merumuskan dan
menerapkan aturan ini dengan cepat karena sebelumnya Kemenperin telah
menerapkan aturan mengenai Tingkat Kandungan Dalam Negeri untuk barang
elektronik tertentu, yang terbukti telah dapat mengurangi impor limbah
elektronik dari negara lain ke Indonesia untuk digunakan kembali,” paprnya.
“Selain itu, undang-undang Right to Repair di Uni Eropa juga
baru disahkan di 2021. Jadi, dengan merancang dan mengesahkan aturan hak
perbaikan barang elektronik ini, Indonesia akan menjadi salah satu negara yang
maju dalam hal lingkungan. Keren kan?,” lanjutnya
Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat konsumsi
elektronik yang sangat tinggi. Penetrasi ponsel pintar di Indonesia telah
mencapai 90%, belum lagi televisi dan berbagai barang elektronik yang digunakan
oleh masyarakat Indonesia.
Siklus perkembangan teknologi yang cepat juga membuat banyak
masyarakat Indonesia membuang alat elektronik yang sudah tidak dapat lagi
digunakan. Sayangnya, pengolahan limbah elektronik di Indonesia belum
sepenuhnya baik.
“Jadi, peraturan menteri yang mengatur ketersediaan dukungan
suku cadang dan tenaga perbaikan selama setidaknya lima tahun setelah suatu
produk dirilis ke masyarakat akan sangat mengurangi jumlah limbah elektronik
yang akan dilepas ke masyarakat. Harapannya, setelah peraturan ini berhasil
ditegakkan, dukungan servis perangkat elektronik akan meningkat, sampah
elektronik dapat berkurang, dan hidup kita akan lebih sustainable,” paparnya.