AKURATNEWS.ID, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, akhirnya memutuskan Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Ferdy Sambo memberikan vonis hukuman mati atas kasus kematian eks ajudannya, Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Vonis hakim yang diberikan Sambo, menurut Hakim terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
"Menyatakan terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan yang menyebabkan sistem elektronik tidak berfungsi sebagaimana mestinya,” ujar Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023).
"Menjatuhkan terdakwa dengan pidana mati," ucapnya melanjutkan.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut agar Sambo dijatuhi pidana penjara seumur hidup. Dalam kasus ini, eks Kadiv Propam Polri itu menjadi terdakwa bersama istrinya, Putri Candrawathi, serta dua ajudannya, yaitu Richard Eliezer atau Bharada E dan Ricky Rizal atau Bripka RR.
Sambo yang menyandang pangkat terakhir jenderal bintang dua itu dinilai telah melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Ferdy Sambo juga terbukti terlibat obstruction of justice atau perintangan penyidikan terkait pengusutan kasus kematian Brigadir J. Ia terbukti melanggar Pasal 49 UU ITE juncto Pasal 55 KUHP.
Terkait putusan yang dijatuhkan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik hukuman mati yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo. KontraS menyatakan vonis itu tidak sesuai dengan semangat moratorium terhadap eksekusi mati sejak 2016.
"Pemberlakuan vonis mati tidak sejalan dengan semangat moratorium terhadap eksekusi mati,” kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, dilansir dari Tempo.
Lebih jauh dia menegaskan, moratorium hukuman mati itu memang belum secara tertulis diteken oleh pemerintah. Namun, secara fakta sejak 2017 hukuman mati belum pernah lagi diterapkan di Indonesia. Fatia mengatakan kritik KontraS ini tidak hanya berlaku untuk kasus Sambo.
Sehingga KontraS, kata dia, menolak semua hukuman mati kepada siapa pun. “Penting untuk melihat bahwa penghapusan hukuman mati bukan berarti mendukung tindakan kriminal,” ujar dia.
Fatia juga menilai dalam kasus Sambo mestinya pengadilan maupun pemerintah menekankan perlunya reformasi kepolisian. Dia mengatakan kasus ini tidak hanya dilakukan oleh Sambo melibatkan banyak anggota polisi dari berbagai pangkat.
Dalam kasus Sambo, kepolisian dan kejaksaan turut menyidik kasus obstruction of justice atau menghalangi upaya penyidikan. Setelah pembunuhan terjadi pada 8 Juli 2022, mantan jenderal bintang dua itu memerintahkan bawahannya di kepolian untuk menghilangkan barang bukti berupa rekaman CCTV. Gara-gara kasus ini, enam perwira Polri di antaranya Hendra Kurniawan dkk diseret ke meja hijau atas tuduhan obstruction of justice atau menghalangi penyidikan.
Fatia khawatir Sambo yang divonis mati tidak akan memberikan solusi pada kebutuhan akan reformasi kepolisian tersebut. Vonis mati, kata dia, bisa jadi hanya jalan pintas terhadap tujuan yang lebih besar untuk memperbaiki institusi penegakkan hukum. “Kami khawatir bahwa vonis mati hanya cara untuk simplifikasi terhadap reformasi kepolisian,” kata dia.