Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD/Instagram
AKURATNEWS.ID,
JAKARTA – Putusan vonis penundaan pemilu dinilai telah menimbulkan kegaduhan
politik di masyarakat. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut, dalam cuitannya Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat membuat sensasi berlebihan dalam putusannya memvonis Komisi
Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda tahapan Pemilu 2024.
Dalam cuitanya yang lain di akun twitternya, Mahfud juga
mengatakan vonis yang diambil oleh PN Jakarta Pusat itu juga harus dilawan.
Menurutnya keputusan yang diambil PN Jakarta Pusat tidak sesuai dengan
kewenangannya.
“Vonis PN Jakpus ttg penundaan pemilu ke thn 2025 hrs
dilawan, krn tak sesuai dgn kewenangannya. Ini di luar yurisdiksi, sama dgn
Peradilan Militer memutus kasus perceraian,” ungkapnya, dikutip dari akun @mohmahfudmd,
Jumat (3/2).
“Hkm pemilu bkn hkm perdata. Vonis itu bertentangan dgn UUD
1945 dan UU bhw Pemilu dilakukan setiap 5 thn,” lanjut Mahfud.
Cuitan mahfud pun turut mengundang beragam komentar, salah
satunya yang ditulis oleh akun king Az @MuhAzwar17. Dia membalas, agar Mahfud
MD menegur atas keputusan yang diambil.
“Tegur langsung dong Pak dgn cara panggil menghadap, tanya
maunya apa memutuskan yg bukan kewenangannya,” cuitnya.
Cuitan Mahfud MD di akun Twitternya tersebut hingga berita
ini diturunkan, sudah mendapat 1.108 Retweet, 165 Tweet Kutipan dan 3.628 Suka
dari netizen.
Aneh dan Membingungkan
Sementara itu, Direktur Eksekutif Network for Democracy and
Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengatakan, putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) soal penundaan Pemilu 2024 aneh dan
membingungkan. Putusan tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi dan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Putusan aneh dan membingungkan. Satu putusan yang
tidak ada dalam skema penegakan hukum pemilu dalam UU Pemilu kita," kata
Hadar dilansir dari Kompas.com, Jumat (3/3/2023).
Lebih jauh Hadar memaparkan, pemilu harus dilaksanakan tepat
waktu. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 22 E mengamanatkan bahwa pemilihan
presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPRD, dan anggota DPD
diselenggarakan setiap 5 tahun sekali.
Memang, UU Pemilu membuka kesempatan dilakukannya penundaan
pemilu dan pemilu susulan. Namun, mekanisme ini diatur secara ketat dan
terbatas. Pasal 431 UU Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan bahwa penundaan pemilu
dimungkinkan jika terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, dan bencana alam.
Untuk itu, dia menilai putusan PN Jakpus soal penundaan
pemilu tak merinci perihal faktor yang menyebabkan Pemilu 2024 harus ditunda,
seberapa besar wilayah penundaan, dan pihak mana yang menetapkan penundaan.
“Penundaan yang kemudian dilanjutkan oleh pemilu susulan
atau pemilu ulang dalam UU Pemilu telah diatur secara ketat dan terbatas,” ucap
Hadar.
Lagi pula, UU Pemilu tak memberikan amanat buat Pengadilan
Negeri (PN) untuk dapat memutuskan sengketa terkait pemilu. Menurut Pasal 470
dan Pasal 471 UU tersebut, gugatan atau sengketa terkait keputusan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) dalam proses verifikasi partai politik calon peserta
pemilu ditangani oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN), bukan Pengadilan Negeri.
Oleh karena Pengadilan Negeri tak punya wewenang, menurut
Hadar, seharusnya sejak awal perkara ini dinyatakan sebagai gugatan yang tidak
dapat diterima.
“Jadi, putusan perkara perdata di PN Jakpus karena tidak
sesuai dengan apa yang diatur dalam UU Pemilu, suatu UU bersifat khusus, maka
putusan PN dapat menjadi putusan yang tidak dapat dilaksanakan,” pungkas Hadar.