Oleh : Iradat Ismail
Aktivis FAPII dan Direktur JAPI (Jaringan Advokasi Publik Indonesia)
FAPII adalah salah satu wadah berhimpun para alumni PII yang memiliki kesadaran kolektif tentang keislaman dan keindonesiaan serta KePIIan sebagai alat perjuangan yang dibangun melalui memori historis pergerakan yang masih tertanam hingga sekarang.
Para aktivis FAPII yang sudah melek tentang kritik sosial sudah pasti jiwa dan nalar kritis mereka tidak akan diam ketika melihat sebagian warga Alumni PII yang berhenti melangkah dalam gerakan nyata setelah pasca berPII. Apalagi yang ada hanya pada gerakan nostalgia pada masa lalu dan dengan sengaja tidak melihat fakta dan realita tantangan keumatan kekinian.
Memakai istilah Kanda Jamaluddin Malik, paradigma perang Dingin masih dipakai hingga sekarang. Padahal, model serta strategi perang pun sudah berubah, dari perang konvensional ke perang asimetris.
Dari kegelisahan terhadap kondisi kekinian FAPII kemudian bermetamorfosis menjadi kelompok creative minority, seperti dijelaskan oleh Toynbee dalam bukunya A Study of history, bahwa kemampuan masyarakat untuk tetap bertahan itu dimotori oleh sekelompok kecil orang yang secara kreatif. Menggagas dan mengaplikasikan ide dan solusi - solusi baru untuk menghadapi tantangan yang ada.
FAPII sendiri pun digulirkan melalui beberapa fase titik konsolidasi gagasan dari kafe ke kafe, sebagai ciri khas Alumni PII yang masih merawat tradisi dinamika kelompok, yang tumbuh sejak ditraining di PII hingga pasca berPII pun tradisi dialektika ini terus dikembangkan, hingga tercetuslah sebuah gerakan pencerahan yang dilembagakan bernama "Forum Alumni Pelajar Islam Indonesia"
Perjuangan di Sudut-sudut
Alumni PII terkadang mengalami pengalaman kebatinan dalam urusan gerakan bawah tanah yang tidak dijangkau oleh liputan media karena pengaruh historis, yang dalam buku Djayadi Hanan "Gerakan Pelajar Islam di bawah bayang- bayang Negara " berpengaruh hingga pasca beraktivitas di PII, membuat para alumni mengambil peran di ruang-ruang yang yang kadang tidak nampak di ruang publik, atau pada komunitas-komunitas yang memiliki berbagai macam layar belakang status social.
Ambil saja ada beberapa alumni PII yang memilih gerakan kebudayaan, gerakan advokasi sosial yang sampai berdampak pada stigmatisasi ideologi kiri ke beberapa Alumni oleh keluarga besar PII itu sendiri. Mereka rela menjadi asing di rumah sendiri, yang terpenting keyakinan Tauhid sosial mereka tidak akan luntur, lantaran memilih jalan perjuangan yang berbeda dengan garis normative.
Sejatinya, tradisi gerakan Islam yang umumnya, lebih memilih pada wilayah yang masih relevan dengan basis ideologis PII, yang secara umum yakni perjuangan Izzatul wal muslimin, yaitu perjuangan syariat Islam semata.
Hitam Putih Kehidupan Bangsa
Carut marutnya kondisi sosial bangsa memicu para alumni PII yang sudah terbiasa merdeka berfikir, kritis di setiap analisa social, ketika ada peristiwa yang memiliki dampak bagi perubahan tatanan kebangsaan.
Mmenuntut para alumni PII yang terjun ke dalam, hingga ada yang memilih gerakan normatif yang sesuai dengan ciri PII yang Islamis banget, seperti terus melakukan gerakan kampanye melawan PKI, melawan hal-hal yang di luar syariat Islam.
Ada juga alumni PII yang mengambil jalan gerakan yang lebih ekstrim dengan mengadvokasi kaum mustadafin atau wong cilik. Hal ini senada dengan konsep Ali syariati tentang ideologi kaum intelektual, bahwa kita harus mengambil peran sebagai seorang Rausanfikr, yaitu seorang pemikir tercerahkan yang mengikuti ideologinya secara sadar.
Ia akan memimpin gerakan progresif dalam sejarah, dan menyadarkan ummat terhadap kenyataan kehidupan. Dari semangat sebagai agen pencerahan para alumni yang memilih jalur yang menurut sebagian kelompok adalah gerakan yang terlalu mengarah pada gerakan ke kiri kirian, sehingga menyebabkan terjadi saling serang stigma, Alumni PII Semangka dan Alumni PII yang berkiblat pada gerakan normatif yang tidak mau mengambil wilayah dakwah-nya.