Ilustrasi Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nur Nadlifah, agar BPOM untuk tidak diskriminatif dalam aturan pelabelan kemasan air minum./Istimewa
AKURATNEWS.ID, JAKARTA – Para pengamat kesehatan banyak menyepakati, Kemasan air minum yang saat ini digunakan sama-sama memiliki zat kimia yang dinilai berbahaya. Namun demikian, penggunaannya selama ini telah dibatasi dan diatur penggunaannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Namun demikian, BPOM dalam beberapa waktu terakhir cenderung
hanya membahas galon isi ulang, yang dinilai untuk diberikan pelabelan dalam
penggunaannya. Menanggapi hal yang terjadi disektor tata aturan ini, Anggota
Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nur Nadlifah,
meminta agar pelabelan zat-zat kimia berbahaya tidak diberlakukan hanya pada
galon polikarbonat saja tapi juga untuk galon berbahan PET atau sekali pakai.
Nur Nadlifah menilai, galon berbahan PET, atau yang
diketahui sekali pakai, sama-sama memiliki zat-zat kimia berbahaya.
“Semua harus diperlakukan sama, tidak hanya galon
polikarbonat yang berbahan BPA saja tapi juga galon berbahan PET atau sekali
pakai yang mengandung etilen glikol,” ujarnya, dalam sebuah kesempatan.
Tapi, menurutnya, hingga kini Komisi IX saja masih belum membicarakan terkait
pelabelan kemasan AMDK itu dengan BPOM.
“Mungkin saat ada pembahasan terkait hal ini, semuanya akan
kita bicarakan dalam rapat nanti,” tukasnya.
Namun, juga dia meminta agar semua industri air minum dalam
kemasan (AMDK), baik yang berbahan polikarbonat (guna ulang) maupun PET (sekali
pakai) bisa membuktikan bahwa produk-produk yang mereka jual benar-benar aman
untuk dikonsumsi.
Selain itu, lanjutnya, semua industri AMDK juga perlu
memperhatikan treatment atau perlakuan terhadap kondisi-kondisi yang bisa
menyebabkan terjadinya migrasi zat-zat kimia berbahaya dari kemasannya ke dalam
produk airnya.
Dia mencontohkan salah satu treatment yang harus dilakukan
itu adalah bahwa kemasan AMDK tersebut harus tidak boleh dipanaskan dan terkena
panas dalam beberapa hari. Karena, menurutnya, meski dari pabriknya sudah
memproduksi produk-produk yang aman, tapi terkadang ada saja oknum pabrik nakal
yang mencantumkan sesuatu yang tidak sesuai dengan produknya.
“Masyarakat juga harus memperhatikan hal-hal tersebut,”
katanya.
Ditanya adanya kebingungan masyarakat untuk meminum air AMDK
terkait adanya isu bahaya zat-zat kimia pada kemasan AMDK, dia juga tidak bisa
memberikan solusinya. Karena, menurutnya, baik air sumur, PAM, air isi ulang
juga banyak yang masih meragukan soal kehigienisannya.
“Ya gimana lagi ya, kalau kita sudah minum, bismillah
insyaallah saja supaya tidak terjadi apa-apa,” katanya.
Nur Nadlifah sendiri mengaku sudah bertahun-tahun
menggunakan air galon guna ulang bersama keluarganya. “Saya juga biasa pakai
galon yang isi ulang itu, ya sudah puluhan tahun juga,” tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional
(BPKN), Rizal Edy Halim juga meminta agar Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) tidak hanya melabeli satu jenis kemasan plastik saja, tapi diberlakukan
kepada semua. Sebab, menurutnya, semua kemasan plastik mengandung zat-zat kimia
berbahaya.
"Jadi, jika BPOM ingin mewacanakan pelabelan, ya semua
harus dilabeli, baik kemasan berbahan Polikarbonat maupun PET. Karena semua
plastik itu sama-sama berbahaya bagi kesehatan," ujarnya beberapa waktu
lalu.
Khusus AMDK, kata Rizal, ada dua jenis plastik yang
digunakan, yaitu Polikarbonat (PC) dan Polietilena tereftalat (PET). Kemasan PC
atau galon guna ulang biasanya dipakai untuk ketahanan waktu lama. Lebih keras
dan biasanya dicampur dengan Bisfenol A (BPA). Sedang untuk kemasan PET atau
sekali pakai, biasa dicampur dengan antimon.
"Yang namanya plastik itu, ketika dicampur dengan zat
kimia semua punya risiko. Makanya ada aturannya berapa yang boleh dan berapa
yang tidak. Jadi, kalau ditanya mana yang lebih aman, ya dua-duanya sama-sama
beresiko. Kalau mau aman ya tidak usah menggunakan plastik, pakai saja gelas
atau botol kaca," katanya.
Khusus untuk plastik PET, kata Rizal, para aktivis
lingkungan juga menolak kehadiran kemasan ini yang terkait dengan isu
lingkungan. "Kalau BPOM mau buat pelabelan BPA, pertanyaannya kan ada isu
lingkungan juga kalau kita hanya memakai yang sekali pakai itu. Aktivis
lingkungan akan bereaksi karena akan terjadi penimbunan sampah yang lebih
banyak," tuturnya.
Menurutnya, yang penting dari penggunaan kemasan plastik
adalah pengawasannya, sejak diambil dari sumber mata air harus higienis. Juga
harus diawasi apakah sudah memenuhi syarat atau tidak, cara pengambilannya,
pengangkutannya sampai ke tempat pelaku usaha, penyimpanannya, di toko-toko.
"Nah, itu yang harus diawasi sambil diberitahukan ke
masyarakat tidak boleh menyimpan AMDK itu terlalu lama, karena bisa
berinteraksi dengan atmosfer di sekitarnya. Para penjualnya juga harus
diingatkan tidak boleh meletakkannya di bawah sinar matahari langsung,"
ucapnya.
Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute
for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, bahkan
meminta tidak ada diskriminasi usaha AMDK khususnya terkait senyawa BPA. Dia
menyampaikan pemerintah harus mengedepankan unsur keadilan dan jangan ada
diskriminasi.
"Dalam usaha harus mengedepankan unsur fair, tidak ada
unsur diskriminasi. Semua pelaku usaha, produk, harus diberikan kesempatan yang
sama untuk bersaing," pungkasnya.