Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Hukum Kesehatan, Sundoyo (Batik)/FMB9
AKURATNEWS.ID, JAKARTA - Bertepatan dengan Hari Kesehatan Dunia pada 7 April ini yang mengangkat tema ‘Health for All’, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi upaya nyata pemerintah dan DPR untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih merata, berkualitas, dan terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Di tengah pandemi COVID-19 yang baru saja melanda, RUU ini diharapkan dapat memberikan landasan hukum yang kuat untuk mengatur sistem kesehatan Indonesia yang selama ini masih banyak terdapat ketimpangan dan ketidakmerataan dalam akses pelayanan kesehatan.
Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Hukum Kesehatan, Sundoyo, menyampaikan bahwa RUU ini merupakan inisiatif dari DPR dengan metode omnibus law. Oleh karena itu, UU Kesehatan dapat memuat substansi baru, mengubah UU yang mirip, serta mencabut UU yang setara.
“Terdapat 13 UU yang terdampak, di mana 9 UU akan dicabut dan lainnya mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan adanya tumpang tindih antara satu UU dengan UU yang lain,” ujarnya dalam Dialog FMB9 yang mengangkat tema ‘Transformasi Layanan Kesehatan Indonesia: RUU Kesehatan’, Senin (3/4).
Beberapa UU yang akan masuk ke dalam revisi UU Kesehatan yang menggunakan mekanisme omnibus adalah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Selain itu, ada pula Undang-Undang 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Serta, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi dan Undang-Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurut Sundoyo, permasalahan kesehatan di Indonesia yang sangat kompleks membutuhkan solusi yang menyeluruh. Mulai dari pemenuhan sumber daya tenaga kesehatan, fasilitas dan infrastruktur, hingga industri farmasi.
“Farmasi juga menjadi hal penting dalam RUU Kesehatan ini. Saat ini, 90 persen bahan baku obat masih diimpor, sehingga kemandirian dalam hal ini harus ditingkatkan,” tegas dia.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute, Ahmad Redi, mengungkapkan dalam regulasi kesehatan, terdapat 15 UU yang mengandung potensi konflik norma dan masalah implementasi.
“Indonesia sendiri diketahui memiliki regulasi yang rumit dan berbelit-belit, sehingga menjadi sulit untuk mencapai kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal. Oleh karena itu, RUU Kesehatan menjadi inisiatif yang bagus dari DPR dan pemerintah,” lanjutnya.
Dalam pandangannya, RUU Kesehatan bisa mempermudah perizinan, pendirian program studi kedokteran, dan distribusi fasilitas kesehatan yang lebih merata, terutama di luar Pulau Jawa.
Perlindungan Tenaga Kesehatan
Ketua Umum PB IDI, Moh. Adib Khumaidi menyoroti beberapa hal yang menurutnya sangat penting dan harus dipertimbangkan dalam penyusunan RUU Kesehatan.
Menurutnya RUU ini harus memperhatikan permasalahan mendasar dalam sistem kesehatan Indonesia, seperti sistem pembiayaan, pelayanan, dan pendidikan kesehatan.
“RUU Kesehatan jangan tergesa-gesa, dan peran organisasi profesi dalam memperjuangkan kepentingan tenaga medis harus tetap diakui,” imbuhnya.
Ia juga menyoroti jumlah kebutuhan dokter yang masih jauh dari cukup, terutama di daerah-daerah terpencil, serta pentingnya perlindungan hukum dan hak imunitas bagi tenaga medis.
Tanpa adanya perlindungan bagi mereka, dikhawatirkan para tenaga kesehatan akan lebih condong untuk menerapkan praktik kesehatan berbiaya tinggi sebagai bagian dari upaya perlindungan diri sendiri terhadap hukum.
“Padahal dari pemerintah menganjurkan praktik yang efisien. Oleh karena itu, seperti di advokat dan notaris tenaga kesehatan juga harus diberikan perlindungan untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat,” imbuhnya.
Dengan RUU Kesehatan, diharapkan dapat tercipta sistem kesehatan yang lebih baik dan menyeluruh untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.