Ilustrasi RUU Layanan Kesehatan/istimewa
AKURATNEWS.ID, JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapatkan mandat, dalam hal ini Komisi IX DPR, telah ditugaskan untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Layanan Kesehatan bersama dengan pemerintah.
Namun demikian, RUU Kesehatan yang notabene akan mengatur segala hal terkait dengan layanan kesehatan ini mendapat sorotan dari berbagai pihak, salah satunya dari organisasi Profesi kedokteran.
Selaku Organisasi Kedokteran di Indonesia, Ikatan Dokter Seluruh Indonesia (IDI) menilai, hak imunitas perlu diberikan kepada tenaga kesehatan seperti dokter, bidan serta perawat, selaku pemberi layanan kesehatan.
“Kalau kemudian profesi yang lain diberikan hak imunitas, apalagi seorang dokter yang melakukan sebuah pelayanan kesehatan menyelamatkan nyawa, maka imunity right of low-nya itu harus ada, hak imunitasnya harus ada. Artinya apa, pada saat kemudian kita bicara hak imunitas, di sinilah peran organisasi profesi sebagai penjaga profesinya itu,” terang Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Moh Adib Khumaidi, dalam diskusi FMB9, Senin (3/4).
“Kemudian sangat paradoks, pada saat kemudian kita ingin memberikan sebuah perlindungan hukum, kita ingin memberikan sebuah hak imunitas, tapi kemudian peranan organisasi profesi dieliminir, ini sangat-sangat krusial,” lanjut Adib.
Lebih jauh Adib menjelaskan, IDI, PPNI diberikan konstitusional chooes melalui undang-undang kebidanan, keperawatan, kedokteran dalam satu upaya untuk menjadi penjaga profesi. Dia juga mengungkapkan, tidak bisa membayangkan kemudian hak imunitas tidak didapatkan.
“Maka begitu akan banyak dan luar biasanya para tenaga medis tenaga kesehatan dengan mudah untuk masuk ke dalam satu, mohon maaf permasalahan hukum. Nah ini yang menjadi sangat penting. Jadi apa yang kemudian harus kita lakukan dalam kata ini,” ungkapnya.
Adib menegaskan, menjadi sangat penting, pada saat kemudian banyak pihak bicara terkait dengan kaitan dengan undang-undang kesehatan, menurut hematnya dari organisasi profesi, kepentingan tenaga medis, tenaga kesehatan jangan disimplifikasi dari 4 undang-undang menjadi 4 pasal.
“Ini kan jadi 4 pasal, pasal 374 ya. Nah, ini yang kemudian saya kira menjadi sangat penting dan krusial. Sehingga, kalau mau kemudian kita memakai asas daripada pembuatan undang-undang, akuntabel kemudian transparan, partisipatif, ayo kita bicara dan jangan tergesa-gesa di dalam memutuskan sebuah undang-undang,” tegasnya.
Tak Ada yang Kebal Hukum
Menanggapi pernyataan Ketua IDI, Staf Ahli Menkes Bidang Hukum Kesehatan Sundoyo, mengatakan terkait hak imunitas, di negara hukum seperti Indonesia tidak ada yang kebal hukum. Dokter itu di dalam memberikan pelayanan itu harus patuh terhadap tiga hal, standar pelayanan, standar profesi dan etik.
“Kalau dokter ini adalah sudah memberikan pelayanan terhadap (pasien) dan dia menundukkan diri terhadap tiga hal itu, pasti dijamin dari hukum, itu konsep sebenarnya yang dibangun. Mau di undang-undang itu bahwa ini tidak boleh dituntut karena begini, tidak bisa juga,” katanya.
Dia memaparkan, dalam merumuskan RUU Layanan Kesehatan yang ingin dibangun adalah, bagaimana tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan itu adalah tanpa memenuhi standar yang ada, yakni pelayanan standar profesi.
“Terkait dengan PNPK, ini kalau dilihat di dalam undang-undang praktek kedokteran itu kan disusun oleh organisasi profesi, ditetapkan oleh menteri, bunyinya seperti itu. Yang menjadi persoalan, yang sering saya ikuti sebenarnya adalah ketika kita akan menyusun PNPK tentang katakan misalnya bedah mulut, kenapa itu lama? Karena bedah mulut itu ada kewenangan dari spesialis A, spesialis B, spesialis C, sangat lama sehingga enggak jadi-jadi,” ungkapnya.
“Makanya sekarang ini Kementerian Kesehatan, bagaimana supaya secara kompetensi? Supaya sama-sama. Ya sudah kalau memang dokter spesialis ini enggak ada, bisa dikerjakan spesialis ini. Kalau enggak spesialis ini, tapi tetap sesuai dengan kompetensinya, sesuai dengan koridor kewenangannya,” lanjutnya.
Sundoyo juga menjelaskan, sampai saat ini terkait dengan PNPK itu diatur di dalam peraturan Menteri Kesehatan 1438. “Di sana itu ada yang diprioritaskan. Apa itu, high Risk, high cost dan yang sering kali di lakukan di pelayanan,” katanya.
“Sampai sekarang ini dari inventarisisasi sekitar 71, sudah ada sekitar 69 lah yang sudah jadi, itu memang cukup lama. Tetapi persoalannya adalah memang tadi loh, bagaimana secara Kompetensi ini nggak diterapkan di dalam pelayanan itu. Makanya kemarin Kementerian Kesehatan melalui Dirjen Yankes itu sudah membuat surat edaran, bagaimana secara kompetensi itu diterapkan di lapangan, sehingga tidak saling klaim, ini kewenangan saya, ini bukan kewenangan saya, padahal dokter lain dokter lain juga punya juga kompetensi terhadap itu,” paparnya.
Namun demikian, Ketua IDI menegaskan dengan mempertanyakan, saat advokat di notaris bisa ada hak imunitas, mengapa dituliskan saja secara konkret.
“Dituliskan saja, bahwa tenaga medis, tenaga kesehatan tidak bisa dituntut sepanjang… Bahasanya itu perlindungan hukum, bukan tidak bisa dituntut, berbeda. Jadi normanya norma abstrak, bukan norma konkret seperti ada di advokat,” imbuhnya.
“Kalau memang kita konteksnya berupaya untuk melindungi, dan negara hadir pada tenaga medis, tenaga kesehatan, cantumkan saja seperti apa yang ada di dalam undang-undang advokat,” pungkas Adib.