Eko Sulistyo
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara G7 di
Hiroshima, Jepang, minggu lalu, membuat beberapa kemajuan signifikan dalam
mengatasi krisis iklim. Terutama
memberikan lebih banyak kepastian tentang penghentian penggunaan bahan bakar
fosil.
Negara-negara anggota G7 "menggarisbawahi komitmen
mereka” untuk menghapusnya paling lambat pada 2050.
Dalam G7 Hiroshima Leaders Communique, 20 Mei 2023, pesannya
menjadi bahasa yang menandakan peningkatan ambisi di bidang ini. G7 juga berkomitmen untuk “meningkatkan
kapasitas angin lepas pantai secara kolektif sebesar 150 gigawatt (GW) pada
2030, berdasarkan target masing-masing negara dan peningkatan kolektif
Photovoltaik (PV) surya menjadi lebih dari 1 terrawatt (TW) pada 2030.” Ini sejalan dengan jalur International
Renewable Energy Agency (IRENA) untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C (IRENA,
2022).
G7 juga menyerukan
kepada semua pihak (parties), terutama negara-negara ekonomi maju, untuk
menyelaraskan target NDC (Nationally Determined Contribution) atau komitmen dan aksi iklim nasional mereka
pada 2030 dengan jalur 1,5 derajat celsius, dan Net Zero Emission (NZE) atau
nol bersih paling lambat 2050. Mereka
diminta meninjau kembali dan memperkuat NDC pada 2030, dan mempublikasikannya
atau memperbarui LTS (long-term strategy) secepat mungkin, sebelum KTT Iklim
PBB - COP28, September 2023.
Sebelumnya pada April 2023 lalu, di Sapporo, Jepang, para
menteri iklim dan energi G7 untuk pertama kalinya telah membuat seruan
eksplisit untuk mengakhiri pembangunan pembangkit listrik berbasis batu bara
(PLTU) baru secara global. Komitmen tegas untuk “tidak ada batubara baru” ini
menandakan tren yang berkembang pada para pemimpin G7 atas PLTU di luar China.
Meski berjanji untuk mempercepat peralihan ke arah energi
yang lebih bersih dan terbarukan, namun para menteri G7 belum menetapkan jadwal
untuk menghentikan PLTU.
Komitmen untuk mengakhiri pembangunan PLTU baru, dan
mendukung negara lain untuk hal yang sama, akan menjadi landasan penting untuk
komitmen “tidak ada batu bara” lebih lanjut di agenda COP 28 mendatang di Uni
Emirat Arab.
Memastikan Komitmen
Tentu ada catatan kritis, ketika G7 sebagai kumpulan
negara-negara maju dan kaya di dunia, terkesan kurang maksimal dalam memimpin
perubahan iklim. Apa yang paling terlihat di KTT G7 Hiroshima adalah bahwa
negara-negara G7 tidak akan dapat memenuhi tenggat waktu yang ketat untuk
mengurangi emisi mereka hingga nol.
Sebagai Presidensi G7 tahun ini, Jepang sendiri telah
mendorong para menteri lingkungan hidup pada pertemuan di Sapporo agar
menyadari bahwa anggota G7 tidak akan dapat memenuhi tenggat waktu yang
konkret.
Hal ini mengungkapkan betapa tindakan dan insentif yang
lebih ketat mungkin diperlukan untuk mengatasi tantangan saat ini. Dan tujuh negara G7 saat ini juga sedang
menghadapi perjuangan masing-masing melawan perubahan iklim.
Kritik dan reaksi keras terhadap Hiroshima Summit ini datang
dari Kepala Global Political Strategy, Climate Action Network International,
Harjeet Singh. Di twitternya
(@harjeet11), G7 dianggap kurang meyakinkan sebagai referensi menjaga pemanasan
global, sementara pada saat yang sama terus berinvestasi dalam PLTU dan gas,
dan itu jauh dari prinsip darurat iklim.
Menurutnya, G7, di antara negara-negara terkaya di dunia,
sekali lagi terbukti sebagai pemimpin yang buruk dalam kepemimpinan iklim
dengan pernyataan mereka dari KTT Hiroshima. Membayar basa-basi untuk kebutuhan
untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajad celcius.
Sementara pada saat yang sama terus berinvestasi dalam gas
menunjukkan keterputusan politik yang aneh dari sains dan pengabaian total
terhadap keparahan darurat iklim.
Kemunafikan dari pencemar sejarah karena dampak iklim terus
meningkat membuat standar rendah dan membahayakan upaya global untuk memerangi
krisis. Negara-negara G7 harus datang ke COP28 dengan fokus yang jelas untuk
melakukan bagian mereka yang adil dalam menghapuskan bahan bakar fosil secara
bertahap dan memberikan pendanaan iklim.
Negara anggota G7 menyumbang 40% dari aktivitas ekonomi
dunia, dan seperempat emisi karbon global. Industrialisai mereka yang dimulai
sejak pertengahan Abad 19, dengan energi listrik berbasis batu bara, telah
lebih banyak dalam menghasilkan karbon.
Namun dukungan mereka sangat diperlukan terhadap negara-negara yang
kurang mampu yang seringkali paling terdampak perubahan iklim dan memiliki
sumber daya yang paling sedikit untuk memitigasi dampak tersebut.
Ambang Batas 1,5 Derajat Celsius
Untuk memastikan setiap ikhtiar selaras dengan jalur “ambang
batas” 1,5 derajat celsius dan tujuan dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan,
G7 harus berkolaborasi dengan negara-negara berkembang untuk membangun rantai
pasokan energi bersih global yang andal, terjangkau, dan berkelanjutan untuk
mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Sebuah laporan PBB, UN Weather Agency, menyebut cuaca
ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim menyebabkan 2 juta kematian dan
kerusakan ekonomi sebesar US $ 4,3 triliun dalam 50 tahun terakhir. Sementara menurut Departemen Meteorologi
Dunia (WMO), 11.778 bencana cuaca dilaporkan antara 1970 dan 2021. Laporan
tersebut menemukan 90% kematian yang terjadi akibat bencana tersebut terjadi di
negara-negara berkembang.
Sebagian besar kerusakan ekonomi antara 1970 dan 2021
terjadi di Amerika Serikat, dengan total US $1,7 triliun. Sementara dampak ekonomi terhadap produk
domestik bruto, lebih terasa di negara-negara berkembang.
WMO telah berulang kali memperingatkan tentang dampak
perubahan iklim berupa kenaikan suhu yang telah meningkatkan frekuensi dan
intensitas cuaca ekstrem, termasuk banjir, angin topan, siklon, gelombang
panas, dan kekeringan.
Untuk itu, secara global, menurut Special Report: Global
Warming of 1.5 o C, harus ada penurunan emisi setidaknya 45% pada 2030 diukur
sejak 2005, dan harus menjadi nol bersih pada 2050, agar memiliki peluang
realistis menjaga kenaikan suhu dalam 1,5 derajat celcius dari masa
pra-industri. Sebagian besar kewajiban
untuk memastikan hal ini terletak pada negara-negara kaya dan maju, yang
dianggap paling bertanggung jawab atas pemanasan global.
Komunike G7 Hiroshima Summit, pada akhirnya harus dinilai
sebagai dorongan para pemimpin G7 yang ingin mendorong transisi global menuju
ekonomi berbasis energi bersih. Untuk kemajuan konkret mereka harus menunjukkan
komitmen meningkatkan ambisi iklim domestik melalui dekarbonisasi sepenuhnya
sektor kelistrikan mereka pada 2035, elektrifikasi sektor tranportasi, serta
mengurangi konsumsi dan produksi bahan bakar fosil mereka.
Para anggota G7 juga harus berkomitmen untuk memobilisasi
arus keuangan publik dan swasta yang jauh lebih besar untuk mendekarbonisasi
ekonomi global sejalan dengan sasaran batas kenaikan suhu dalam Perjanjian
Paris. Termasuk janji bantuan US $ 100
milyar untuk negara-negara berkembang memitigasi perubahan iklim dan transisi
energi.
--------------