Presiden Joko Widodo saat meninjau pertanian di daerah/Ist
AKURATNEWS.ID,
JAKARTA – Saat Hari Pangan Sedunia, pada tanggal 16 Oktober 2023, Presiden
Joko Widodo, atau Jokowi, menyampaikan pandangannya tentang tahun 2023 sebagai
tahun yang penuh tantangan, bukan hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi dunia.
Kenaikan suhu bumi yang memicu El Nino panjang menjadi salah satu faktor utama
yang memengaruhi ketersediaan pangan global.
Jokowi mengungkapkan bahwa Indonesia telah melakukan upaya
antisipasi dengan persiapan cadangan beras yang memadai. Seiring waktu,
infrastruktur yang diperlukan untuk menjaga ketahanan pangan telah dibangun,
termasuk waduk, ribuan embung, dan jaringan irigasi. Namun, tantangan yang
dihadapi, terutama dalam situasi El Nino, masih mengandalkan impor sebagai
solusi.
Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sebelumnya telah mencatat bahwa impor
pangan Indonesia mencapai angka yang signifikan, diperkirakan mencapai Rp300
triliun. Megawati juga mencermati peningkatan impor gandum yang telah mencapai
28% konsumsi pada tahun 2022.
Indonesia memiliki sumber pangan lainnya, seperti jagung,
hanjeli, pisang, sagu, singkong, talas, dan ubi jalar, yang dapat menjadi
alternatif. Tetapi ketergantungan pada impor pangan, terutama gandum, masih
tinggi.
Dr.Ir. Nugroho Widiasmadi, mengatakan Kebijakan Ketahanan
Pangan harus dimulai dengan Pembangunan ekosistem berkelanjutan, yang meliputi
variael tanah, air dan udara, sehingga jaminan akan : Kesehatan dan Kesuburan
elemen tersebut akan memberikan buah hasil tanaman yang baik untuk dimakan dari
generasi ke generasi.
“Di negara kita telah terjadi degradasi lahan akibat
pemakaian pupuk dan pestisida berlebihan sejak revolusi huijau tahun 1970
sampai saat ini,” ujarnya dalam keterangannya.
Keberpihakan pemerintah terhadap sumber daya yang
berkelanjutan untuk kemandirian tidak diperhatikan , alih alih menambah cabang
kerusakan dengan ekploitas tambang yang tarus menggila, alih fungsi lahan,
ketergantungan impor dan lain-lain menjadi potret gelap dalam dunia pangan.
“Akibatnya bisa kita rasakan saat ini, tekanan ekonomi, perubahan iklim global
memaksa semua elemen tumbang karena negara kita tidak siap,” imbuh Dr. Nugroho.
Mengatasi krisis pangan terutama beras, tidak dengan impor atau buat program “kagetan”
seperti program “Pendamping Beras” dengan sumber lain seperti ubi, pisang dan
lainnya. Menurutnya menjadi hal percuma, jika tanahnya terus dirusak dan
diracun atau masih ketergantungan dengan pupuk kimia, itu hanya memindahkan masalah ke tempat lain.
“Sebaiknya Pemerintah mulai serius menyelamatkan ketahan
pangan dengan kebijakan fundamental ciptakan kantong / lumbung papuk &
lumbung pakan untuk mengisi lumbung pangan. Semua komponen ini ada di desa, dengan Teknologi Biosoildam
MA-11 semua dapat diwujudkan dengan cepat , mudah dan terukur,” katanya.
Mengutip Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan,
bahwa impor bahan pangan Indonesia mencapai US$ 16,09 miliar atau sekitar Rp
248,63 triliun pada tahun 2022. Impor pangan terbesar termasuk gandum, gula,
kedelai, susu, daging, dan buah-buahan. Negara-negara seperti Australia,
Kanada, Brasil, Argentina, dan Ukraina menjadi penyuplai utama gandum.
“Perlu dicatat bahwa Indonesia harus mengimpor gandum karena
tidak memproduksinya sendiri, meskipun mie instan yang sangat populer di
Indonesia terbuat dari gandum,” ungkapnya.
Impor gula juga mencapai angka yang besar, hampir US$ 3
miliar atau sekitar Rp 46,35 triliun. Impor kedelai juga signifikan, dengan RI
hanya memproduksi 200 ribu ton per tahun pada 2021, jauh di bawah kebutuhan.
Kedelai digunakan dalam makanan seperti tempe dan tahu, yang sangat disukai
oleh masyarakat Indonesia.
Sebanyak 80% kebutuhan susu Indonesia masih bergantung pada
impor, mencapai US$ 1,31 miliar atau sekitar Rp 20,24 triliun. Meskipun ada
potensi produksi lokal, beberapa bahan pangan, seperti buah-buahan, kedelai,
bawang putih, jagung, dan garam, masih diimpor dalam jumlah besar.
Pemerintah Indonesia telah mengambil inisiatif dengan
program Food Estate yang dirancang untuk mengantisipasi krisis pangan. Namun,
program ini masih menghadapi sejumlah kendala, termasuk sumber daya petani dan
lahan yang dibutuhkan.
Presiden Jokowi mengakui bahwa mengembangkan Food Estate di
berbagai wilayah bukan tugas yang mudah. Keberhasilan dalam panen biasanya baru
terjadi pada tanaman keenam atau ketujuh, menggarisbawahi kompleksitas
tantangan di lapangan.
“Meskipun program ini menghadapi berbagai permasalahan,
pemerintah berkomitmen untuk melakukan evaluasi dan perbaikan guna mencapai
hasil yang diharapkan. Kolaborasi lintas kementerian menjadi kunci dalam upaya
menjaga ketahanan pangan Indonesia,” pungkasnya.