Sidang DKPP Proses Penerimaan Bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden/dok. Youtube DKPP
AKURATNEWS.ID, JAKARTA -
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kembali menggelar sidang
dugaan pelanggaran dalam proses penerimaan bakal calon presiden dan wakil
presiden dan surat edaran dari KPU yang menyurati parpol atas terkait Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman
Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres.
Sidang perkara nomor 135PKE-DKPP/XII/2023 kali ini
menghadirkan saksi fakta. Dalam sidang tersebut, terjadi perdebatan alot antara
pihak pelapor dan terlapor, bahkan sejumlah pertanyaan yang ditujukan kepada
terlapor ada yang tidak bisa dijawab. Majelis Hakim pun mempertanyakan terkait
proses penerimaan bakal calon presiden dan wakil presiden kepada KPU.
"Dalam sidang kali ini, Hakim mulai mempertanyakan
dasar hukum penerimaan bakal calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Gibran
dan penerbitan surat edaran KPU. Jadi Majelis Hakim bisa menangkap apa yang
menjadi laporan kita," ujar Sunandiantoro SH, MH, Kuasa Hukum dari Pelapor
Demas Brian Wicaksono, Senin (8/1/2024) usai menghadiri sidang di DKPP Jakarta.
Dijelaskan Sunandiantoro, apa yang dilaporkan oleh pihaknya
terkait dengan tindakan KPU yang tidak sesuai dengan prinsip Berkepastian Hukum
atau melanggar etika Berkepastian Hukum
yaitu KPU menyalahi wewenang menindaklanjuti Putusan MK.
Putusan MK sekalipun bermasalah, lanjutnya, namun ia tidak
dalam rangka mempermasalahkan Putusan MK-nya, tetapi yang paling mendasar
adalah apa tindak lanjut secara hukum yang bisa dikerjakan terkait adanya
Putusan MK tersebut.
"Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal
10 Ayat 1 huruf (d) dan Ayat 2 berikut Penjelasannya, sudah jelas bahwa tindak
lanjut Putusan MK itu dilakukan oleh DPR atau Presiden untuk menghindari
terjadinya kekosongan hukum. Maka setelah adanya Putusan MK Nomor 90, maka
harus ada tindak lanjut dari DPR atau Presiden. Jika tidak ada tindak lanjut,
maka ada kekosongan hukum," ujar Sunandiantoro.
Anehnya, kata Sunandiantoro, KPU secara serta Merta
menyalahgunakan wewenangnya pada tanggal 17 Oktober 2023 dengan membuat Surat
Edaran kepada pimpinan Parpol untuk mempedomani Putusan MK. "Lalu dasar
hukum KPU melakukan ini apa? Akhirnya dalam hal ini KPU tidak menggunakan
prinsip Berkepastian Hukum," jelasnya.
Tidak hanya itu, terkait dengan perubahan PKPU nomor 23
tahun 2023, KPU bisa melakukan perubahan PKPU tersebut sedangkan Putusan MK
belum ditindaklanjuti oleh DPR atau Presiden. "Lalu dasar hukumnya apa?
Sementara di UU Nomor 12 tahun 2011 tidak ada wewenang dan tugas KPU untuk
menindaklanjuti Putusan MK," ungkap Sunandiantoro.
Sidang selanjutnya, tambah Sunandiantoro, pihaknya akan
menghadirkan saksi ahli yaitu ahli hukum Tata Negara dan ahli hukum Perdata
untuk membuktikan dan memperjelas laporan dan penjelasan. Ia berharap
Komisioner KPU harus diganti seluruhnya untuk menyelamatkan proses Pemilu 2024.
"Salah satu cara
menyelamatkan proses pemilihan presiden dan wakil presiden 2024 adalah
mengganti Komisioner KPU agar masyarakat tidak menjadi korban akibat tindakan
melawan hukum, tindakan melawan etik, tindakan penyelundupan Hukum, tindakan
abuse of power dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh KPU, sehingga
komisioner KPU harus diganti dan Pemilu harus tetap berjalan,"
pungkasnya.(***)