Kegiatan disalah satu tempat makan/Foto. Noorwan/akuratnews.id |
AKURATNEWS.ID, JAKARTA - Penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan membawa dampak yang sangat memberatkan, terutama bagi mereka yang berada di lapisan ekonomi menengah ke bawah, termasuk di dalamnya pekerja informal, buruh, petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil.
Kebijakan ini, meski bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, berisiko memperburuk ketimpangan ekonomi karena secara langsung meningkatkan harga barang dan jasa, termasuk kebutuhan pokok yang sangat esensial bagi kelompok rentan ini.
Peneliti IDEAS, Muhammad Anwar menyatakan meskipun barang kebutuhan pokok tidak langsung dikenakan PPN, tetapi domino effect dari kenaikan PPN pasti akan mengerek harga kebutuhan pokok.
"Kenaikan PPN 12 Persen ini sangat ironi, ketika korporasi besar justru menikmati berbagai insentif perpajakan seperti rencana penurunan PPh Badan dari 22 Persen menjadi 20 Persen, Tax Holiday dan yang terbaru rencana Tax Amnesti 2025, sementara itu masyarakat kelas menengah dan bawah yang sering dianggap sebagai tulang punggung perekonomian dibebani oleh kenaikan tarif pajak PPN 12 persen," kata Anwar saat dihubungi, Jumat (22/11/2024).
Ia menyatakan situasi ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam prioritas kebijakan pemerintah. Korporasi besar mendapatkan keuntungan melalui insentif fiskal yang memungkinkan mereka menekan biaya operasional, sementara masyarakat kelas menengah menghadapi realitas harga yang semakin mahal.
Sementara, lanjutnya, bagi kelompok kelas menengah, kebijakan ini adalah pukulan berat. Kelas menengah kerap dianggap penopang ekonomi karena daya belinya yang relatif lebih baik dibandingkan kelas bawah. Namun, pada kenyataannya, kelas menengah di Indonesia banyak yang berada pada kategori 'Hampir Miskin'. Sedikit saja goncangan ekonomi ini akan berdampak pada terperosoknya mereka ke kelas yang lebih rendah.
"Kondisi diperparah karena kelompok menengah tidak terproteksi dengan baik oleh regulasi. karena dianggap mampu, kelas menengah tidak dapat mengakses dukungan pemerintah, seperti bantuan sosial, subsidi pendidikan, kesehatan, atau program perlindungan pendapatan. Sebagian besar dari mereka juga memiliki pengeluaran tetap yang tinggi, seperti cicilan rumah, kendaraan, atau pendidikan anak," paparnya.
Ketika pengeluaran untuk kebutuhan pokok meningkat akibat kenaikan PPN, ruang untuk memenuhi kewajiban tersebut menjadi semakin sempit. Akibatnya, banyak yang akhirnya harus mengurangi tabungan, investasi, atau bahkan mencari tambahan utang.
Fenomena Makan Tabungan 'Mantab' ini terkonfirmasi oleh data Distribusi Simpanan yang dirilis LPS pada Agustus 2024 lalu, bahwa nominal tabungan masyarakat di bawah Rp 100 juta tumbuh paling kecil sepanjang tahun berjalan atau year to date (ytd) dibanding kelompok simpanan lainnya.
Sedangkan meningkatnya pengambilan utang di masyarakat ini terlihat dari data pemanfaatan layanan pinjaman online yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pada Agustus 2024, nilai penyaluran pinjaman online mencapai rekor baru sebesar Rp27,44 miliar, melampaui capaian bulan-bulan sebelumnya di tahun yang sama.
"Menurut saya, yang paling logis dan mendesak adalah menunda penerapan kenaikan PPN menjadi 12 persen. Situasi ekonomi saat ini, dengan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi, ketidakpastian global, serta tekanan inflasi yang terus mengintai, membuat kebijakan ini terasa tidak tepat waktu," kata Anwar menyarankan.
Menunda kenaikan PPN, menurutnya, akan memberikan ruang bagi pemerintah untuk mengevaluasi kembali dampaknya terhadap berbagai lapisan masyarakat, khususnya kelas menengah dan bawah, serta menyiapkan langkah-langkah mitigasi yang lebih komprehensif.
Langkah berikutnya, pemerintah harus segera menyadari bahwa kelompok kelas menengah bawah ini membutuhkan proteksi yang lebih inklusif. Diperlukan skema perlindungan sosial yang tidak hanya menyasar kelompok miskin, tetapi juga menjangkau kelas menengah rentan. Subsidi yang tepat sasaran pada sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan energi dapat menjadi penyangga bagi kelas menengah.
"Pemerintah juga perlu mendorong penguatan ekonomi mikro, melalui dukungan terhadap usaha kecil dan menengah dapat memberikan daya tahan bagi masyarakat kelas menengah yang sering bergantung pada sektor ini. Pemerintah juga harus mempertimbangkan untuk memberikan insentif pajak kepada sektor yang menyerap banyak tenaga kerja dari kelompok ini," ucapnya.
Selanjutnya, kebijakan PPN 12 persen harus disertai dengan pengawasan ketat terhadap inflasi. Pemerintah perlu memastikan bahwa kenaikan pajak tidak menyebabkan lonjakan harga yang tidak terkendali. Distribusi barang dan jasa harus diperbaiki untuk menjaga stabilitas harga, terutama di wilayah terpencil yang cenderung lebih terpengaruh oleh gejolak ekonomi.
Terakhir, kebijakan pajak harus dirancang dengan prinsip keadilan sosial. Beban pajak tidak boleh terlalu berat bagi kelompok yang paling rentan. Sebaliknya, redistribusi pajak harus diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan yang lebih merata.
"Dalam konteks ini, pemerintah harus menunjukkan keberpihakan yang nyata terhadap kelas menengah dan bawah, bukan sekadar mengutamakan peningkatan penerimaan negara tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang luas. Kebijakan yang lebih inklusif dan berpihak pada rakyat adalah kunci untuk memastikan bahwa ekonomi tetap tumbuh tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat," pungkasnya.(Vito Zabdiel)