Notification

×

Iklan

Iklan

HCC : 34% Pelajar SMA Jakarta Beresiko Alami Gangguan Mental Emosional

Rabu, 18 Desember 2024 | 22:07 WIB Last Updated 2024-12-18T15:07:22Z

HCC : 34% Pelajar SMA Jakarta Beresiko Alami Gangguan Mental Emosional
Laporan HCC, terkait kesehatan mental pelajar SMA di Jakarta/Foto. Ist/akuratnews.id


AKURATNEWS.ID, JAKARTA - Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC), Fokus Kesehatan Indonesia (FKI), dan Yayasan BUMN melalui inisiatif Mendengar Jiwa Institute mengungkap fakta memprihatinkan mengenai kondisi kesehatan mental remaja di Jakarta. Penelitian ini menunjukkan bahwa 34% pelajar SMA di Jakarta memiliki indikasi gangguan mental emosional, dengan 3 dari 10 pelajar sering menunjukkan perilaku marah dan agresif yang mengarah pada potensi konflik fisik.

 

Penelitian ini dipimpin oleh Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH selaku Peneliti Utama HCC, Bunga Pelangi, SKM, MKM sebagai Direktur Program HCC, serta Prof. Nila F. Moeloek dari FKI. Studi ini dilakukan dalam rangka membangun dasar program Zona Mendengar Jiwa, sebuah inisiatif yang bertujuan meningkatkan kesadaran, menyediakan edukasi, serta menciptakan intervensi berbasis data terkait kesehatan mental remaja di institusi pendidikan.

 

Temuan Utama Penelitian

 

1. Gangguan Mental dan Emosional

 

Dr. Ray Wagiu Basrowi menyatakan bahwa angka 34% ini menjadi indikasi serius gangguan kesehatan mental remaja di kota metropolitan seperti Jakarta. “Hasil ini menjadi gambaran awal yang harus dianalisis lebih mendalam. Angka tersebut bahkan melampaui data dari penelitian sebelumnya,” ujarnya. Lebih lanjut, 10% pelajar SMA juga mengaku merasa rentan terhadap masalah kesehatan mental akibat rendahnya kesadaran diri (self-awareness) mengenai kondisi mereka.

 

2. Peran Peer Counseling Lebih Dominan

 

Studi ini menemukan bahwa 67% pelajar lebih memilih untuk berbicara dengan teman sebaya terkait masalah mental mereka ketimbang berkonsultasi dengan guru atau konselor sekolah. Sayangnya, sebagian besar pelajar enggan mendatangi ruang Bimbingan Konseling (BK) karena adanya stigma negatif. Hal ini menegaskan pentingnya konselor sebaya (peer counselor) sebagai mitra mitigasi dalam mendukung kesehatan mental di sekolah.

 

Prof. Nila F. Moeloek mengingatkan bahwa pendekatan melalui teman sebaya harus dilakukan dengan hati-hati. “Konsultasi antar teman sebaya hanya dapat dijadikan sebagai ruang bercerita, bukan upaya mitigasi utama. Pendampingan dari guru, orang tua, dan profesional tetap diperlukan untuk memastikan solusi yang tepat dan akurat,” tegasnya.

 

Rekomendasi Hasil Penelitian

 

Berdasarkan temuan ini, penelitian merekomendasikan sejumlah langkah strategis, di antaranya:

 

1. Implementasi Program Zona Mendengar Jiwa

 

Program ini mengusung pelaksanaan skrining kesehatan mental, identifikasi dini, konseling berbasis sekolah, serta konseling sebaya yang lebih terintegrasi.

 

2. Rebranding Ruang BK

 

Upaya memperbaiki citra ruang BK agar lebih ramah dan terbuka untuk pelajar menjadi solusi penting guna mengatasi stigma.

 

3. Kolaborasi Guru, Orang Tua, dan Teman Sebaya

 

Diperlukan upaya terstruktur untuk melibatkan semua elemen pendidikan, sehingga sekolah dapat menjadi lingkungan yang ramah terhadap kesehatan mental.

 

Heru Komarudin, Program Manager Health and Wellbeing Yayasan BUMN, menegaskan pentingnya program ini dalam mendukung generasi muda sehat mental dan fisik, sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045. “Harapannya, sekolah dapat mengadopsi rekomendasi ini sehingga kita bisa menciptakan generasi penerus bangsa yang lebih kuat secara mental,” ujarnya.