AKURATNEWS.ID, JAKARTA - Forum Diskusi Kamisan #3 kembali digelar dengan tema "Indonesia di Era Prabowo: Menghadapi Tantangan Politik, Ekonomi, dan Sosial di Tengah Dinamika Global".
Diskusi ini menghadirkan sejumlah akademisi dan pengamat politik yang mengupas berbagai tantangan yang akan dihadapi Presiden Prabowo Subianto dalam menjalankan pemerintahan lima tahun ke depan.
Eduardus Lemanto membuka diskusi dengan menyoroti pemikiran prabowo dalam buku Paradoks Indonesia dan solusinya. Dia menyebutkan bahwa Gerindra sebagai partai politik telah berhasil mentransfer pemikiran Prabowo, tetapi di sisi lain situasi demokrasi masih menghadapi tantangan besar.
Menurutnya, mahasiswa saat ini terlambat dalam mendeteksi permasalahan bangsa yang semakin kompleks. Dia juga menilai bahwa Prabowo menghadapi kecemasan yang muncul akibat kebijakan-kebijakan pemerintahan sebelumnya.
Eduardus yang juga Direktur Eksekutif Analysis Centre For BRICS And ASEAN (ACBA) mengungkapkan bahwa, kondisi bangsa saat ini sangat kritis, dengan ekonomi yang didominasi oleh segelintir elite.
Dia menilai bahwa hanya 14 orang Indonesia yang mengendalikan sektor ekonomi nasional. Untuk keluar dari situasi ini, ia menekankan perlunya menerapkan ekonomi berbasis Pancasila seperti yang digagas oleh Presiden Prabowo sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.
Selain itu, keputusan Prabowo untuk membawa Indonesia masuk ke dalam BRICS (blok ekonomi yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) juga menjadi langkah penting agar Indonesia tidak terus-menerus berada dalam bayang-bayang negara-negara kaya.
Namun, dia menekankan bahwa perubahan besar dalam suatu bangsa harus diawali dengan menertibkan kekuatan ekonomi dan politik, terutama mereka yang memiliki uang dan senjata. Menurutnya, reformasi 1998 harus diperluas mencakup seluruh elemen negara, termasuk mengontrol kelas oligarki agar mereka tidak terlalu dominan dalam menentukan arah kebijakan nasional.
Reformasi Politik dan Ekonomi yang Diperlukan
Gde Sisina Yusuf menambahkan bahwa ada kekhawatiran terhadap jalannya pemerintahan Prabowo, terutama dalam 100 hari pertama kepemimpinannya. Dia menilai bahwa implementasi program-program yang telah dijanjikan perlu dikawal dengan baik, termasuk mencegah praktik state corporate crime atau kejahatan korporasi yang melibatkan negara.
Menurutnya, reformasi politik dan ekonomi menjadi keharusan guna mengurangi ketergantungan finansial pemerintah terhadap para oligarki yang telah menyumbang dalam pemilu.
Dia mencontohkan beberapa kasus seperti proyek pagar laut dan distribusi gas LPG yang menunjukkan adanya persekongkolan antara pejabat negara dengan pengusaha, yang pada akhirnya lebih menguntungkan kelompok tertentu dibanding masyarakat luas.
Dia menekankan bahwa Prabowo tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan negara jika hanya berfokus pada penyelesaian di tingkat hilir. Sebagai solusi, ia mengusulkan perbaikan sistem regulasi yang memberi akses lebih luas kepada rakyat dalam memanfaatkan sumber daya alam nasional.
Selain itu, dia menyoroti pentingnya konsistensi dalam roadmap pemerintahan Prabowo. Menurutnya, pemerintah harus bisa meyakinkan publik bahwa tantangan yang dihadapi bukan sekadar kesulitan sementara, melainkan bagian dari persoalan struktural yang harus diselesaikan sejak awal.
Jika tidak dijelaskan dengan baik, kebijakan pemerintah bisa terlihat kontradiktif dan tidak konsisten di mata masyarakat.
Terakhir Gde juga menyoroti peran koperasi sebagai pilar ekonomi nasional yang semakin terpinggirkan. Dia mengusulkan agar koperasi tidak hanya terbatas pada sektor pertanian, perikanan, dan perdagangan, tetapi berbasis domisili dan didukung oleh kebijakan pemerintah daerah serta nasional.
Dengan pendekatan ini, masyarakat bisa lebih aktif dalam pembangunan daerah, sekaligus membangun kepercayaan publik terhadap sistem ekonomi yang lebih inklusif.