AKURATNEWS ID, JAKARTA – Proses birokrasi yang rumit dan kurang berpihak kepada masyarakat kembali menjadi sorotan. Kali ini, Ida Hodijah, warga Jalan Jatinegara Kaum Utara RT 003 RW 004, Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur, mengungkapkan kesulitan yang ia alami dalam mengurus perizinan penggunaan trotoar untuk keperluan usahanya.
Ida, yang telah menyewa sebuah lahan di Jalan Raya Bekasi KM 18, Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, sejak dua bulan lalu, belum juga bisa memulai usahanya membuka bengkel mobil.
Penyebabnya adalah akses ke lahan tersebut terhalang trotoar, dan untuk melakukan perubahan atau pemanfaatan trotoar, Ida harus melalui prosedur yang sangat rumit.
“Saya sudah coba daftar lewat situs PTSP Jakevo.jakarta.go.id, tapi persyaratannya banyak dan rumit. Saya cuma warga biasa yang ingin usaha, bukan pengusaha besar,” keluh Ida kepada sejumlah wartawan yang kebetulan tengah memperbaiki kendaraan di bengkel sementara miliknya.
Mendengar keluh kesah Ida, beberapa wartawan mencoba mencari klarifikasi langsung ke Suku Dinas Bina Marga Jakarta Timur pada Jumat pagi (11/4). Namun sejak dari lobi Blok D, para jurnalis sudah menghadapi hambatan, termasuk diminta menyerahkan KTP dan mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari petugas keamanan yang berjaga.
Setelah naik ke lantai 9 kantor Sudin Bina Marga Jakarta Timur pukul 09.00 WIB, wartawan pun diberitahu bahwa Kepala Suku Dinas, Benhard Hutajulu, belum hadir.
Salah satu petugas yang mengaku sebagai cleaning service bahkan menyarankan agar membuat janji terlebih dahulu jika ingin bertemu dengan pejabat terkait. Padahal, menurut para wartawan, upaya konfirmasi lewat telepon telah dilakukan sejak tanggal 10 April namun tidak kunjung mendapatkan respons.
Setelah menunggu sekitar 30 menit, wartawan akhirnya bisa bertemu dengan Andi Monang, Kepala Bidang Perencanaan. Namun penjelasan yang diberikan justru memperlihatkan betapa birokrasi yang ada sangat menyulitkan warga kecil.
Menurut Andi, pemohon harus membuat spesifikasi teknis (spek) yang dikerjakan oleh tenaga ahli bersertifikat—syarat yang tentunya memberatkan masyarakat dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Saat ditanya dasar aturan mengenai hal tersebut, Andi tidak dapat menjelaskan secara pasti, dan justru melempar tanggung jawab ke pihak PTSP.
“Saya butuh bukti dulu Bang, bukti daftar PTSP-nya, token-nya, baru tim saya bisa cek. Kalau belum, kami enggak bisa,” ujar Andi.
Namun ketika wartawan mengonfirmasi ke PTSP, dijelaskan bahwa selama pemanfaatan tidak mengganggu kanan kiri dan ketertiban umum, maka seharusnya permohonan masih bisa diproses.
Kisah Ida Khodijah menjadi potret kecil dari besarnya persoalan birokrasi pelayanan publik di ibu kota. Masyarakat yang berniat produktif dan ingin mandiri justru dihadang oleh sistem yang rumit dan membebani, tanpa kejelasan prosedur serta minimnya empati dari pejabat publik.
Jika tak ada perbaikan nyata, maka keinginan Jakarta menjadi kota ramah usaha dan warga akan terus terhambat oleh tembok birokrasi yang tebal dan tak ramah rakyat.